Geopolitik Timur Tengah: Badai di Laut Merah dan Pergeseran Kekuatan
Timur Tengah, selalu menjadi episentrum dinamika geopolitik global, kini kembali dihadapkan pada babak baru yang penuh gejolak dan pergeseran kekuatan. Konflik dan diplomasi, eskalasi dan de-eskalasi, berjalan beriringan membentuk lanskap yang semakin kompleks.
Pemicu utama gejolak teranyar adalah konflik Israel-Hamas di Gaza yang meletus Oktober lalu. Dampaknya melampaui batas-batas Palestina, memicu serangan Houthi Yaman terhadap kapal-kapal di Laut Merah sebagai bentuk solidaritas. Krisis ini tidak hanya mengganggu rantai pasokan global tetapi juga menarik perhatian militer Barat, memperluas potensi konflik regional.
Di sisi lain, meskipun ketegangan meningkat, kita juga menyaksikan upaya de-eskalasi. Rapprochement antara Arab Saudi dan Iran, yang difasilitasi Tiongkok tahun lalu, menunjukkan potensi peredaan ketegangan di Teluk. Namun, ambisi nuklir Iran dan aktivitas proksinya tetap menjadi perhatian utama, terutama bagi Israel dan Amerika Serikat, yang melihatnya sebagai ancaman eksistensial. ‘Poros Perlawanan’ yang dipimpin Iran kini semakin berani, menantang hegemoni regional.
Peran kekuatan eksternal juga berevolusi. Amerika Serikat masih menjadi pemain kunci, namun fokusnya sedikit bergeser. Sementara itu, Tiongkok dan Rusia semakin memperluas jejak pengaruh mereka melalui diplomasi ekonomi dan kesepakatan militer. Aspek ekonomi, terutama transisi energi dan upaya diversifikasi ekonomi negara-negara Teluk, turut membentuk prioritas dan aliansi baru.
Singkatnya, Timur Tengah saat ini adalah mozaik kompleks antara konflik bersenjata, diplomasi rapuh, dan pergeseran pengaruh global. Meskipun bayangan perang masih membayangi, ada pula upaya mencari stabilitas di tengah badai. Masa depan kawasan ini akan sangat ditentukan oleh keseimbangan rapuh antara kepentingan internal dan intervensi eksternal.
