Membentuk Nalar Warga: Kurikulum Politik di Balik Layar
Ketika kita bicara ‘kurikulum’, bayangan kita mungkin langsung tertuju pada buku pelajaran dan ruang kelas. Namun, dalam konteks politik, kurikulum jauh lebih luas dan seringkali tak terlihat. Kurikulum politik adalah segala proses, baik formal maupun informal, yang membentuk pemahaman, nilai, dan perilaku politik seseorang. Ia adalah arsitek utama nalar kewarganegaraan, menentukan bagaimana individu memandang kekuasaan, keadilan, partisipasi, dan tanggung jawab sosial.
Secara formal, kurikulum politik tertuang dalam mata pelajaran seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di sekolah, atau mata kuliah ilmu politik di perguruan tinggi. Di sini, warga negara diajari tentang sistem pemerintahan, hak dan kewajiban, sejarah, serta ideologi negara. Tujuannya mulia: menciptakan warga negara yang cerdas dan patuh hukum.
Namun, bagian terbesar dari kurikulum politik justru berjalan secara informal. Dari diskusi di meja makan keluarga, berita di media massa, konten media sosial, interaksi dengan komunitas, hingga pengalaman pribadi dalam menghadapi birokrasi atau ketidakadilan. Narasi yang beredar, nilai-nilai yang ditanamkan, hingga bias informasi, semuanya berkontribusi membentuk pandangan politik kita, seringkali tanpa kita sadari.
Kurikulum politik, baik yang tersurat maupun tersirat, adalah penentu utama kualitas demokrasi dan stabilitas sosial. Jika ia mendorong pemikiran kritis, empati, dan partisipasi konstruktif, maka akan lahir warga yang aktif dan bertanggung jawab. Sebaliknya, jika ia dipenuhi propaganda, kebencian, atau apatisme, maka masyarakat rentan terhadap polarisasi dan tirani.
Singkatnya, kurikulum politik adalah udara yang kita hirup dalam ruang publik. Ia ada di mana-mana, membentuk kita setiap hari. Memahami dan menyaringnya adalah kunci untuk menjadi warga negara yang merdeka dalam pikiran dan tindakan, bukan sekadar objek dari narasi yang dibentuk.


