Bayangan Hitam di Gerbang Perjalanan: Mengurai Fenomena Preman Terminal
Terminal, sebagai urat nadi mobilitas dan gerbang pertemuan berbagai kisah perjalanan, seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman. Namun, di balik hiruk pikuk aktivitasnya, seringkali terselip bayangan kelam: sosok "preman terminal." Mereka bukan sekadar cerita urban, melainkan realitas yang meresahkan, menjadi parasit yang mencekik kenyamanan para pengguna jasa transportasi.
Preman terminal adalah individu atau kelompok yang beroperasi di lingkungan terminal dengan melakukan intimidasi, pungutan liar (pungli), atau bahkan kekerasan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Target utama mereka umumnya adalah sopir angkutan umum, kondektur, pedagang asongan, dan tak jarang juga penumpang yang terlihat lengah. Modus operandi mereka bervariasi, mulai dari "uang keamanan," "uang kebersihan," hingga "jasa" menaikkan atau menurunkan penumpang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Fenomena premanisme di terminal tak lepas dari akar masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Mereka mengisi celah yang ada, menciptakan "kekuasaan" informal yang sulit disentuh, bahkan terkadang menjadi bagian dari rantai "mafia" yang terstruktur. Dampaknya jelas: biaya perjalanan yang membengkak secara tak wajar, rasa tidak aman dan nyaman bagi penumpang, serta iklim usaha yang tidak sehat bagi para sopir dan pedagang jujur. Citra terminal sebagai fasilitas publik pun tercoreng, jauh dari standar pelayanan yang diharapkan.
Mengatasi preman terminal bukanlah tugas mudah, butuh pendekatan komprehensif. Penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu adalah kuncinya, diikuti dengan reformasi sistem pengelolaan terminal agar lebih transparan dan akuntabel. Pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat rentan di sekitar terminal juga penting, agar mereka tidak mudah terjerumus dalam lingkaran premanisme. Dengan begitu, gerbang perjalanan kita bisa kembali menjadi tempat yang aman, tertib, dan benar-benar melayani masyarakat.


